Monday, May 9, 2016

Zarathustra: Tentang Sang Pencemooh Tubuh



AKU ingin bicara pada para pencemooh tubuh. Biarkan mereka tidak belajar secara berbeda dan tidak mengajar secara berbeda, melainkan hanya meninggalkan tubuh mereka—dengan demikian menjadi dungu.
                “Aku tubuh dan jiwa”—demikian kata sang anak. Dan mengapa kita tidak boleh bicara seperti anak-anak?
                Tapi orang yang mendapat pencerahan dan dibangkitkan berkata: aku tubuh sepenuhnya, dan tak ada sesuatu di dalam tubuh.
                Tubuh adalah sebuah kecerdasan amat besar, sebuah kemajemukan dengan satu makna, satu perang dan damai, satu kawanan ternak dan gembala.
                Kecerdasan kecilmu, Sahabatku, yang engkau namai “rob”, juga suatu perkakas tubuh bagimu, sebuah perkakas kecil dan permainan bagi kecerdasanmu yang amat besar.
                Engkau berkata “aku” dan engkau bangga akan kata ini. Tapi jauh lebih besar dan kata ini—walaupun engkau mungkin tak mempercayainya—adalah tubuhmu dan kecerdasannya yang amat besar, yang tidak berkata “aku” melainkan melakukan “aku”.
                Apa yang dirasakan indera, apa yang dicerap roh, tak pernah merupakan tujuan pada-dirinya-sendiri. Tapi indera dan roh ingin membujukmu bahwa mereka itu tujuan segala sesuatu: mereka pun tak berfaedah.
                Indra dan roh adalah perkakas dan permainan: dibalik mereka ada Diri. Diri mencari dengan mata indra, ia mendengar pula dengan telinga roh.
                Diri selalu mendengarkan dan mencari: ia membandingkan, tunduk, menaklukan, menghancurkan. Ia menguasai dan juga penguasa Ego.
                Di balik pikiran-pikiran dan perasaanmu, Sahabatku, berdiri satu komandan berkuasa, sesosok guru yang tak dikenal—ia disebut Diri. Ia berdiam di dalam tubuhmu, ia tubuhmu.
                Ada lebih banyak nalar dalam tubuhmu daripada dalam kearifan terbaikmu. Dan siapa yang tahu untuk tujuan apa tubuhmu membutuhkan justru kearifan terbaikmu?
                Dirimu menertawakan Egomu dan lompatan angkuhnya. “Apa arti lompatan dan terbangnya pikiran ini bagiku?” ia berkata pada dirinya. “Sasaran antara bagi tujuanku. Akulah pembimbing utama Ego dan aku mendorong gagasannya.”
                Diri berkata pada Ego: “Rasakan sakit!” lalu ia kesakitan dan memikirkan bagaimana mengakhiri penderitaannya—dan ia dimaksudkan untuk berpikir hanya untuk tujuan itu.
                Diri berkata pada sang Ego: “Rasakan kegembiraan!” lalu ia bergembira dan merenung betapa ia dapat sering bergembira—bahwa ia diniatkan untuk berpikir hanya untuk tujuan itu.
                Aku ingin mengucapkan sepatah dua patah kata bagi para penghina tubuh. Adalah harga diri mereka yang menghasilkan ketiadaan harga diri ini. Apa yang menciptakan harga-diri dan ketiadaan harga-diri dan nilai dan kehendak?
                Diri kreatif menciptakan baginya harga-diri dan dada harga-diri, ia ciptakan baginya kegembiraan dan nestapa. Tubuh kreatif menciptakan roh bagi dirinya, sebagai tangan untuk kehendaknya.
                Bahkan dalam kesintingan dan kekejianmu, hai orang-orang yang merendahkan tubuh, engkau melayani Dirimu. Aku kata-kata padamu: Dirimu sendiri ingin mati dan berpaling dari kehidupan.
                Dirimu tak lagi bisa memperagakan babak yang ia sangat ingin peragakan: mencipta melampaui dirinya. Itulah apa yang paling ia harapkan, itulah keseluruhan gairahnya.
                Tapi kini sudah terlambat baginya: maka Dirimu ingin binasa, hay orang-orang yang merendahkan tubuh.
                Dirimu ingin binasa, itulah alasannya mengapa engkau menjadi peleceh si tubuh! Sebab tak lagi engkau mampu mencipta melampaui dirimu sendiri.
                Oleh sebab itu, engkau kini marah pada kehidupan dan bumi. Ada cemburu yang tak sadar di sepanjang kilas-pandang cemoohmu.
                Tak aku jalani jalanmu, hai orang-orang yang merendahkan tubuh! Engkau bukan jembatan menuju Manusia-Unggul!

                Demikianlah kata Zarathustra.

No comments:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More