Monday, May 9, 2016

Zarathustra: Tentang Kursi-Kursi Kebijakan



ZARATHUSTRA mendengar tentang seorang resi yang di puji-puji karena dipandeng erwacana dengan fasih tentang tidur dan kebajikan: ia amat dihormati dan mendapat penghargaan karena itu, seomua orang muda bersimpuh dihadapan kursinya. Zarathustra bertandang ke sana dan susuk di hadapan kursinya ersama semua orang muda. Maka demikianlah ujar sang resi:
                Hormati tidurmu dan erendah-hatilah padanya! Itulah yang pertama! Dan hindari orang-orang yang tidurnya resah serta terangun di malam-malam!
                Bahkan pencuri menjadi jengah ila dihadapkan dengan tidur: ia selalu mencuri dengan lembut di malam hari. Tapi tak kenal malu si peronda, tak kenal malu ia tiup terompetnya.
                Tidur bukan seni yang sulit: yang kau perlukan adalah terjaga sepanjang hari agar bisa melakukannya.
                Kau harus mengatasi  dirimu sendiri sepuluh kali sehari: itu menimbulkan keletihan dan menjadi candu bagi jiwa.
                Sepuluh kali engkau harus berdamai kemali dengan dirimu sendiri: uat mengatasi kepahitanmu sedang orang yang tak erdamai tidur dengan rusuh.
                Engkau harus menemukan sepuluh kebenaran dalam sehari: kalau tidak engkau akan mencari kebenaran di malam-malam pula, sebab jiwamu masih kelaparan.
                Engkau harus tertawa dan bersikap riang sepuluh kali sehari: atau perutmu, ayah dan penyakit, akan mengganggumu di malam hari.
                Sedikit orang yang tahu keajikan ini, tapi orang harus memiliki seluruh keajikan ini agar dapat tidur dengan nyaman. Adakah aku bersaksi palsu? Adakah aku berzina?
                Akankah aku menghasratkan pelayan rumah tetanggaku? Tak satu pun hal ini sesuai dengan tidur yang nyenyak.
                Dan kalau pun seseorang sudah memiliki seluruh keajikan, masih ada hal yang perlu di ingat: menyuruh kebijakan-kebijakan ini tidur pada waktunya.
                Agar mereka tidak saling bertengkar satu sama lain, ah para perempuan yang manis-manis! Dan mempereutkan dirimu, lelaki malang!
                Berdamailah dengan Tuhan dan sesamamu: demikianlah kehendak tidur yang nyaman. Dan berdamai pulalah dengan setan tetanggamu. Kalau tidak ia akan mengganggumu di malam hari.
                Hormati dan patuhilah sang penguasa, juga pada penguasa yang culas! Demikianlah kehendak tidur yang nyaman. Apa dayaku kalau kekuasaan suka erjalan dengan kaki bengkok?
                Aku akan tetap memanggilnya gembala paling baik yang menuntun kawanan iri-irinya ke padang rumput paling hijau: itu cocok dengan tidur yang nyaman.
                Aku tak inginkan banyak penghormatan, tidak pula harta yang banyak: mereka membangkitkan kedengkian. Tapi orang sulit tidur nyenyak tanpa nama baik dan harta sekadarnya.
                Sedikit teman lebih bagus bagiku daripada teman yang buruk: tapi mereka harus datang dan pergi pada waktu yang tepat. Itu cocok dengan tidur yang nyaman.
                Si jiwa miskin, pun, amat menyenangkan aku: mereka memperpanjang tidur. Sungguh diberkati dan bahagia mereka itu, terutama jika orang selalu bersetuju dengan pandangan-pandangan mereka.
                Demikianlah hari-hari orang berkebijakan. Dan bila malam datang aku jaga agar tidak mengundang tidur! Ia, sang kebajikan-kebajikan, tidak suka di panggil!
                Tapi aku kenang apa-apa yang telah aku lakukan dan pikirkan sepanjang hari. Sambil mencerna kembali aku tanya diriku, dengan kesabaran seekor lembu: aku kesepuluh kelebihanmu?
                Dan mana yang kesepuluh pendamaian dan kesepuluh kebenaran dan kesepuluh tawaan yang dinikmati oleh hatiku?
                Bila aku renungkan hal-hal semacam itu diayun-ayun oleh keempat puluh pemikiranku, tidur, tuan keabjikan, mendadak merenggut diriku tanpa bisa ditolak.
                Tidur mengusap mataku: mataku memberat. Tidur menyentuh mulutku: mulutku membuka.
                Sungguh, ia menjemputku mengenakan alas kaki yang lemut, pencuri tersayang, dan mencuri enakku dari diriku: aku tegak tanpa suara seperti kursi ini.
                Tapi tak lama aku tegak begitu: sudah tergolek aku.
                Bila Zarathustra mendengar perkataan sang resi ia pun tertawa dalam hatinya: sebab lewat perkataan itu sebuah cahaya terbit dalam dirinya. Maka ia berkata demikianlah dalam hatinya:
                Orang arif ini bersama ke empat puluh pikirannya tampak padaku bagai orang dungu: tapi aku percaya ia tahu benar caranya tidur.
                Bahagialah ia yang tinggal di sekitar rumah sang resi ini. Tidur semacam itu pasti menular, malah bisa menemus dinding tebal.
                Sebuah pukauan bahkan terkandung di kursinya. Sedang para orang muda tidak sia-sia duduk dihadapan pengkhotbah kebajikan itu.
                Kearifannya: angunlah agar tidur nyenyak. Sungguh, jika kehidupan tak masuk akal sedang aku harus memilih yang tidak masuk akal, inilah ketidakmasukakalan yang pantas bagiku, pula.
                Kini jelas sudah apa yang pernah orang-orang cari di atas segalanya tatkala mereka mencari guru-guru kebajikan. Mereka mencari tidur yang nyenyak serta candu kebajikan untuk mendatangkannya!
                Bagi semua orang pintar yang dipuji-puji yang menduduki kursi-kursi akademik mereka, kearifan berarti tidur tanpa mimpi: mereka ini tidak mengerti makna kehidupan yang lebih baik.
                Dan hari ini pun ada beberapa pengkhotah kebajikan serupa ini, tak selalu terhormat: tapi waktu mereka sudah usai. Mereka tak selayaknya berdiri lebih lama: mereka sudah tergolek.
                Diberkatilah para manusia mengantuk ini: sebab mereka segera akan jatuh lelap.
               
                Demikian kata Zarathustra.

No comments:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More