Monday, May 9, 2016

Zarathustra: Tentang Manusia Dan Alam Sana



PERNAH Zarathustra menebar khayalan di luar kehidupan manusia, laiknya semua manusia dan alam sana. Masa itu dunia tampak bagiku seakan-akan karya suatu Tuhan yang menderita dan tersiksa.
                Masa itu dunia tampak agiku seakan-akan mimpi dan fiksi suatu Tuhan; dunia itu uap warna-warni di hadapan mata Tuhan yang kecewa.
                Baik dan jahat dan gembira dan sengsara dan aku dan engkau—aku sangka mereka itu uap berwarna di hadapan mata sang pencipta. Sang pencipta ingin berpaling dari dirinya sendiri, maka ia ciptakan dunia.
                Sungguh kesukaan yang melenakan untuk berpaling dari penderitaan dan melupakan dirinya. Kesukaan yang melenakan dan melupakan diri—begitulah pernah aku sangka dunia ini.
                Dunia ini, yang kekal tak sempurna, gambaran yang abadi dan tak sempurna dari suatu kontradiksi—suatu kegembiraan yang memabukkan bagi penciptanya yang tak sempurna—begitulah dulu pernah aku berfikir tentang dunia.
                Demikianlah pernah aku keranjingan mencari khayal di luar kehidupan manusia, laiknya semua manusia dari alam sana. Diluar kehidupan nyata manusia>
                Ah, Sahabat-sahabatku, Tuhan yang aku ciptakan ini ialah hasil dan kegilaan manusia, laiknya semua dewa-dewa!
                Ia manusiawi, dan curna potongan malang manusia dan Egonya: hantu ini datang padaku dari perapian dan abuku, begitulah adanya! Ia tidak datang padaku dari “Seberang sana”!
                Apa yang terjadi, Sahabat-sahabatku? Aku, si pesakitan, mengatasi diriku, aku bawa abuku ke pegunungan, aku nyalakan bagi diriku nyala api yang lebih terang. Dan lihatlah! Sang hantu kabur dariku!
                Nah, bagiku, manusia yang sedang disembuhkan ini, akan menyakitkan dan menyiksa untuk mempercayai hantu-hantu semacam itu: bagiku ini akan menyakitkan dan menghinakan. Demikianlah kataku pada orang-orang dari alam sana.
                Adalah penderitaan dan ketidakberdayaan—yang menciptakan alam-alam sana; dna menciptakan kegilaan dan kebahagiaan singkat yang hanya dialami orang yang paling menderita saja.
                Letih, yang ingin mencapai yang tertinggi hanya dengan sekali lompat, dengan lompatan mematikan, keletihan dungu yang malang, yang tak lagi ingin punya keinginan: itulah yang  menciptakan segala dewa dan alam seberang sana.
                Percayalah padaku, Sahabat-sahabatku! Itulah tubuh yang hilang harapan terhadap tubuh—yang menyentuh dinding-dinding tertinggi dengan jemari roh yang tenggelam dalam khayal.
                Percayalah padaku, Sahabat-sahabatku! Itulah tubuh yang hilang harapan pada bumi—yang mendengarkan isi perut makhluk bicara dengannya.
                Lantas ia ingin menaruh kepalanya menembus dinding-dinding tertinggi—dan bukan cuma kepalanya—menyeberang memasuki ke “alam lain”.
                Tapi, “alam lain” itu, alam nirmanusia, alam tak manusiawi, yakni ketiadaan surgawi, tersembunyi rapat dari manusia; sedang isi perut mahluk tidak bericara pada manusia, kecuali sebagai manusia.
                Sungguh, semua keberadaan itu sulit dipertunjukkan; sulit menyuruhnya bicara. Biar begitu, katakan padaku, Sahabat-sahabat, tidakkah hal yang paling menyenangkan dari segala hal itu dipertunjukkan dengan gamblang?
                Ya, Ego ini, dengan segala perselisihan dan kekalutannya, bicara jujur akan keberadaan Ego—yang mencipta, menghendaki, menilai, adalah ukuran dan nilai pelbagai hal.
                Dan keberadaan yang sangat terus-terang, sang Ego ini—ia berbicara dari tubuh, dan ia bersiteguh mau tubuh, bahkan tatkala ia mengarang-ngarang, merekayasa dan mengepak-ngepak dengan sayap-sayap rongsoknya.
                Sang Ego, dengan jujur ia selalu belajar berbicara: dan makin belajar ia, makin ia temukan penghargaan dan penghormatan bagi tubuh dan bumi.
                Egoku mengajar kebanggaan baru, demikian aku ajarkan pada manusia: jangan lagi pernah menguburkan kepalamu dalam pasir surgawi, tapi bawalah ia dengan bebas, sebuah kepala membumi yang menciptakan makna bagi bumi!
                Aku ajarkan pada manusia satu kehendak baru: menghasratkan jalan setapak yang telah manusia ikuti dengan membuta, kemudian menyebutnya baik dan tak lagi merangkak menjauhinya, bagaikan si sakit dan sekarat!
                Adalah si sakit dan si sekarat yang memusuhi tubuh dan bumi dan mereka-reka benda-benda surgawi serta tetes darah penebusan: tapi bahkan racun yang manis dan berbau ini pun mereka peroleh dari tubuh dan bumi!
                Mereka ingin lari dari nestapa sedang bintang-bintang terlalu jauh bagi mereka. Maka berkeluh kesah mereka: “O, kalau saja ada jalan-jalan setapak kesurga hingga aku dapat merangkak memasuki kehidupan lain yang bahagia!”—lantas mereka bikin jalan-jalan rahasia mereka dan tegukkan darah mereka!
                Kemudian mereka sangka mereka dipindah dari tubuh mereka dan dari bumi ini, orang-orang tak tahu terima kasih! Namun pada apa mereka berutang kegembiraan pemindahan mereka? Pada tubuh mereka dan bumi ini.
                Zarathustra bersikap lembut pada si sakit. Sungguh, ia tidak berang dengan sifat gampangan dan tak terima kasih mereka. Semoga mereka sembuh dan menguasai diri dan dapat mempertinggin tubuh mereka sendiri!
                Tidak pula Zarathustra marah pada ia yang sedang sembuh kalau ia melihat orang itu merindukan khayal-khayalnya dan malam-malam merangkak dekat kubur tuhannya: tapi air matanya pun masih bicara padaku tentang sakit dan tubuh sakit.
                Selalu saja ada banyak orang sakit di antara mereka yang membikin-bikin dongeng-dongeng dan merindukan Tuhan: meradang kebencian mereka akan manusia yang di cerahkan dan akan kebajikan-kebajikan paling muda yang dinamai kejujuran.
                Mereka selalu menengok balik pada zaman-zaman kegelapan: pada masa itu, tentu, khayal dan iman adalah soal berbeda; pikiran meracau disangka mau menyamai Tuhan, sedang kesangsian itu dosa.
                Aku kenal  betul orang-orang beriman ini: mereka ingin dipercayai, dan kesangsian dianggap dosa. Sungguh tahu aku apa-apa yang mereka percayai dengan teguh.
                Sesungguhnya bukan dalam dunia yang akan datang dan tetes penebusan: mereka itu percaya teguh pada tubuh, dan lagi mereka tubuh mereka ialah benda nyata yang mereka punyai.
                Tapi tubuh itu benda sakit bagi mereka: mereka begitu ingin lepas dari kulitnya. Itu sebabnya mereka simak para pengkhotbah tentang alam sana.
                Ketimbang itu, Sahabatku, dengarlah, suara tubuh yang sehat: suara ini lebih jernih dan lebih jujur.
                Lebih jernih dan lebih jujur adalah pidato tubuh yang sehat, sempurna dan utuh: ia menyuarakan makna bumi.

                Demikianlah kata Zarathustra.

No comments:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More