Thursday, January 28, 2016

Zarathustra: Tentang Tiga Metamorfosis

Aku namai engkau tiga metamorfosis roh: bagaimana roh akan menjadi seekor unta, dan si unta menjadi seekor singa, dan si singa akhirnya menjadi sesosok bayi.

                Ada yang memberati si roh, bagi roh pemanggul beban yang kuat, yang di dalamnya berdiam kehormatan dan rasa segan: kekuatannya merindukan yang berat-berat, yang paling berat.

                Apakah berat? Demikianlah bertanya si roh pemanggul beban, demikianlah ia berlutut bagai unta, ingin dipunggah beban sepantasnya.

                Apakah hal yang paling berat, hai pahlawan? Demikianlah bertanya si roh pemanggul-beban, sehingga aku boleh memanggulnya dan bergembira dengan kekuatanku.

                Bukankah yang terberat itu: merendahkan dirimu sendiri agar melukai kesombonganmu? Membiarkan kesintinganmu keluar agar mengejek kearifanmu?

                Ataukah hal itu: meninggalkan perjuangan kita ketika ia sedang merayakan kemenangannya? Guna mendaki pegunungan tinggi agar merayu si perayu?
                
                Ataukah hal itu: menggantungkan makan pada biji eik dan rumput pengetahuan dan demi kebenaran, mederita laparnya jiwa?
               
                Ataukah hal itu: jatuh sakit lantas menyuruh pergi para takziah dan berkawan dengan si pekak, yang tak pernah mendengarkan apa yang minta?

                Ataukah hal itu: mencemplungkan diri ke dalam air kotor bila air itu air kebenaran, tanpa menghinakan katak-katak yang dingin atau yang menyengat?

Ataukah hal itu: mencintai mereka yang memusuhi kita dan mengulurkan tangan kita pada sang hantu ketika ia ingin menakuti kita.

Sang roh pemanggul-beban memunggah badi dirinya semua hal yang paling berat ini: laiknya seekor unta tergopoh-gopoh dengan bebannya menuju gurun, demikianlah ia memasuki gurunnya sendiri.

Tetapi di gurun yang paling sunyi terjadi metamorfosis yang kedua: roh menjadi singa, ia ingin merdeka dan menjadi tuan dan gurunnya sendiri.

Ia mencari di tempat ini tuannya yang paripurna: ia akan menjadi seorang musuh baginya dan bagi tuhan paripurnanya, ia akan bergulat untuk mengalahkan si naga besar.

Apakah si naga besar yang oleh si roh tak lagi hendak di panggil tuan dan tuhan? Naga besar dinamai “Engkau harus”. Tapi roh si singa berkata “Aku hendak”!

“Engkau harus” berdiam di jalurnya, bagi seekor binatang buas yang bersisik emas, dan pada setiap sisik berkilauan “Engkau harus” keemasan.

Nilai-nilai ribuan tahun berkilauan pada sisik-sisik itu, dan  denikian berkat anaga yang paling berkuasa dan sekaliannya: “Seluruh nilai benda-benda—menjadi kilauan bagiku.”

“Semua nilai telah diciptakan, dan semua nilai ciptaan—terdapat padaku. Sungguh, tak akan ada lagi ‘aku hendak’!” demikianlah berkata si naga.

Saudara-sadudaraku, mengapai si singa diperlukan dalam si roh? Mengapa binatang beban, yang tidak menuntut apa-apa tak takzim, tak mencukupi?

Untuk menciptakan nilai-nilai baru—bahkan si singa pun tak mampu: tapi untuk menciptakan bagi dirinya sendiri kebebasan bagi penciptaan baru—itu dapat dilakukan oleh kuasa si singa.

 Untuk menciptakan kebebasan bagi diri sendiri dan sebuah kata tidak yang suci walaupun terhadap tugas: si singa diperlukan untuk itu, saudara-saudaraku.

Untuk menangkap hak akan nilai-nilai baru—itu kerjaan paling mengerikan bagi roh pemanggul-beban yang takzim. Sungguh, bagi roh ini hal itu pencurian dan kerjaan binatang pemangsa.

Sekali ia mencintai “Engkau harus” ini sebagai hal paling suci baginya: kini ia harus menemukan ilusi dan perubahan pikiran mendadak bahkan di tempat yang paling suci sekalipun, supaya bisa mencuri kebebasan dari cinta: si singa diperlukan menghadapi pencurian ini.

Tapi katakan padaku, saudara-saudaraku, apa yang dapat dilakukan si anak yang bahkan si singa tak dapat? Mengapa harus si singa pemangsa masih menjadi sesosok bayi?

Si anak itu lugu dan pelupa, satu awal baru, suatu olahraga penciptaan: si roh kini menghendaki kehendaknya sendiri, si roh yang memisahkan diri dari dunia kini memenangi dunianya sendiri.

Aku telah namai engkau tiga metamorfosis roh: bagaimana si roh menjadi unta, dan si unta menjadi seekor singa, dan si singa pada akhirnya menjadi sesosok bayi.

Demikianlah kata Zarathustra. Saat itu ia tinggal di kota yang dinamai Lembu Belang.

No comments:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More